Sabtu, 03 Oktober 2015

Julie Rody: Pria Itu Bilang, Ada Begitu Banyak Ilmu Dalam Islam Tak Akan Ada Habis-Habisnya Dipelajari

Mualaf ilustrasi


ASTERPRESCOTT.BLOGSPOT.COM, "Ma.... Aku sudah memutuskan menjadi seorang Muslim." Susah payah, kalimat itu keluar dari lisan Julie Rody, sangat sulit dan emosional. Perempuan kelahiran Minnesota itu tengah menyampaikan kabar keislamannya lewat telepon. 

Hening sesaat;

"Saya punya dua pertanyaan." Terdengar suara ibunya di seberang sana. "Apakah kamu masih percaya pada Tuhan?" Julie mengiyakan. Ibunya bertanya lagi.

Satu pertanyaan terpenting. "Apakah itu membuatmu bahagia?" "Ya, itu membuatku bahagia," jawab Julie. 

Mendengar jawaban itu, ibunya berkata, "Kalau begitu, tidak apa-apa. Kamu harus melakukan apa yang membuat kamu bahagia." Kata-kata ibunya sangat melegakan hati Julie.

Julie Rody masuk Islam sekitar 30 tahun lalu. Ia memiliki latar belakang keluarga yang harmonis dan bahagia. Ibunya berasal dari Norwegia, sedangkan ayahnya berkebangsaan Jerman. Ia dibesarkan di sebuah kota kecil berpenghuni 1.500 jiwa pada masa itu. Hanya ada 13 gereja, tidak ada sinagog ataupun masjid. Juga tidak ada satu pun Muslim di sekitarnya. Karena dibesarkan di lingkungan homogen, Julie tidak tahu apa-apa tentang Islam. Ada juga pemeluk sekte berbeda, yang paling banyak Kristen Methodis dan Lutheran. Namun, semua masih tetap Kristen tidak ada agama lain.

Untuk pertama kalinya, Julie berjumpa dengan Muslim di bangku universitas. Ia bekerja di University of Minnesota dan melihat beberapa Muslim di sana. Perempuan itu tidak tahu apa-apa tentang mereka. Ia juga terlalu malu untuk berbicara dengan mereka.

"Kemudian, saya bertemu pria yang kelak menjadi suami saya. Itu pertemuan yang sangat aneh. Waktu itu hari Valentine," kisah dia.

Hari itu, Julie berada di pusat perbelanjaan di South Ville, sebuah pusat perbelanjaan besar di kota itu. Dia tidak ingat persis, entah dia yang minta tolong sesuatu pada laki-laki itu atau sebaliknya. Yang jelas, mereka bertemu di sana, kemudian asyik berbincang-bincang. Satu topik merembet ke topik lain, sampai pada soal keluarga. Mereka bercerita tentang keluarga masing-masing. 

Salah, nama pria itu. Dia seorang Muslim. Salah bilang, dia belum pernah melihat salju. Jadi, Julie berkisah tentang kota kecilnya, Minnesota. Praktis, dia tahu banyak karena sejak kecil tumbuh besar di sana.

Pertemuan itu membawa kesan mendalam bagi keduanya. Julie memutuskan, dia ingin ibunya bertemu pria itu. Kakak laki-laki, ipar, beserta kedua adik perempuannya juga diundang datang untuk bertemu Salah. Julie mengundang mereka semua dalam sebuah acara makan malam.

Acara makan malam berjalan sangat lancar dan santai. Hanya 15 menit setelah bertemu Salah, ibunya berkata, "Dia sangat cocok denganmu." Kendati keduanya memiliki banyak perbedaan dalam hal agama, bahasa, dan latar belakang budaya, ibunya mengakui mereka klik. Hubungan mereka berlanjut setelah itu.

Lewat Salah, Julie berkenalan dengan beberapa Muslim lain. Julie bertemu istri teman Salah yang juga orang Amerika. Perempuan itu kebetulan mahasiswi di University of Minnesota, tempatnya bekerja. Dia sering datang dan mengunjunginya di kantor. Perempuan itu mengenakan jilbab, bahkan sering kali jilbab hitam lebar. 

Awalnya, jilbab itu membuat Julie merasa sedikit tidak nyaman, tapi perempuan itu tampak begitu tulus. Keduanya terus bertemu. Kalau tidak janjian di luar, kadang dia yang mengunjungi Julie di kantor. 

"Satu hal yang benar-benar menyenangkan adalah dia tidak pernah memaksa," kenang Julie. 

Dia tipikal perempuan yang tidak suka dipaksa, dan sikap sahabat-sahabat barunya sangat membantu. Kadang, keduanya berbicara di telepon. Lain waktu, mereka pergi berempat.

Perempuan itu dan suaminya, sedangkan Julie dengan Salah. Julie dan Salah sebenarnya belum menikah saat itu, tapi ada kalanya mereka keluar untuk makan siang bersama. Lewat interaksi dengan ketiga Muslim itu, Julie mulai mengenal Islam.

Penerimaan Awal-awal belajar Islam, Julie tanpa sengaja bertemu seorang teman lama yang sudah masuk Islam setahun sebelum itu. Temannya itu bahkan sudah mengenakan jilbab! Julie pun langsung bertanya tentang jilbabnya. Pasalnya, itu sebuah ganjalan besar bagi Julie. Ia melihat temannya tampak sangat berubah.  Pertemuan itu semakin meneguhkan keputusannya berislam.

Pada 1982, Julie pun memutuskan masuk Islam. Salah turut andil meyakinkannya. Semula, Julie merasa pengetahuan keislamannya masih sangat dangkal. Dia sudah belajar banyak, tapi selalu merasa kurang. Ia merasa masih saja tidak tahu banyak tentang Islam. Tak terkecuali, saat perempuan itu sudah melafalkan syahadat. Sampai sekarang pun, kata Julie, setiap kali melihat ke belakang, ia merasa pengetahuannya baru berada di permukaan. Pada titik itu, Salah meyakinkan Julie.

Pria itu bilang, ada begitu banyak ilmu dalam Islam. Tak akan ada habis-habisnya dipelajari. 

"Dia berkata, sekalipun saya yang terlahir Muslim, saya tidak tahu segala sesuatu tentang Islam. Kita memiliki ulama, tempat kita belajar. Mereka orang- orang yang dikaruniai keluasan ilmu agama," kata Julie menirukan ucapan suaminya.

Di tengah komunitas baru, Julie bahagia, minimal dia merasa nyaman. Tidak pernah ada seorang yang memaksanya. Salah atau teman-temannya sekalipun. Mereka membiarkan Julie berproses dengan caranya sendiri. Ketika mengucapkan syahadat, dia hanya mengenakan syal kecil yang diikatkan ke belakang. Tidak ada yang menyuruhnya mengenakan pakaian seperti ini, berperilaku seperti itu, dan seterusnya. Mereka bersikap sangat lembut dan tenang padanya.

"Itu sangat banyak membantu," ucap Julie bahagia.

Tak mudah Konversi bukan pilihan mudah. Pilihannya untuk tidak keluar minum-minum lagi membuatnya terpaksa kehilangan beberapa teman lama. Julie pun sempat khawatir dengan respons keluarga. Ibunya, orang yang paling membuatnya khawatir akan menolak keislamannya, ternyata menerima dengan tangan terbuka. Lain halnya dengan Penny, sikap adiknya itu agak berbeda.

Julie mempunyai dua orang adik perempuan.  Penny, adik perempuan pertamanya, berusia dua tahun lebih muda. Awalnya, sikap Penny agak lain bila mereka kebetulan keluar rumah bersama. Apalagi, jika Julie memakai jilbab dan keduanya pergi ke suatu tempat yang orang- orangnya mengenal Penny. Julie tahu, Penny merasa sedikit malu memperkenalkannya.

Semua ketidaknyamanan itu lebur seiring waktu. Memang tidak singkat, tapi adiknya akhirnya mengerti bahwa tidak ada sesuatu pun yang berubah di antara mereka. Setelah beberapa tahun, mereka bisa tertawa bersama, berjalan bersama, dan berbicara dengan santai.  Penny bisa memperkenalkan Julie tanpa sungkan kepada siapa pun. "Oh. Ini saudaraku, Julie."

Edited By : Aditya Von Herman
Source : republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Che Guevara (Ernesto Rafael Guevara de la Serna)

Che Guevara (thechestore.com) ASTERPRESCOTT.BLOGSPOT.COM , Bismillah Hirrahman Nirrahim. Dia dikenal dengan sosok yang revolusioner, berani ...